KOMUNITAS PODJOK

poDJok sebagai sebuah dimensi, kerap diasumsi sebagai sesuatu yang marginal....knapa ga' nyoba untuk melihat "poDJok" dari sisi yang lain...???

13.11

MENGUBAH POLA FIKIR

Diposting oleh komunitas-podjok |

Sekelompok wisatawan tertahan di suatu tempat asing di luar kota. Mereka hanya menemukan bahan makanan yang kadaluwarsa. Karena lapar, mereka terpaksa menyantapnya. Sebelumnya, makanan itu dicobakan dulu kepada seekor anjing yang ternyata menikmatinya dan tak terlihat efek sampingnya.

Keesokan harinya, tiba-tiba anjing itu mati. Ketika mendengar anjing itu mati, semua orang menjadi cemas. Banyak yang mulai muntah dan mengeluh badannya panas atau terserang diare. Seorang dokter dipanggil untuk merawat para penderita keracunan makanan. Kemudian sang dokter mulai mencari sebab-musabab kematian si anjing yang dijadikan hewan percobaan tersebut. Ketika dilacak, eh ternyata anjing itu sudah mati karena terlindas mobil.

Apa yang menarik dari cerita di atas ?

Ternyata kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan, bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri. We see the world as we are, not as it is. Akar segala sesuatu adalah cara kita melihat. Cara kita melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Ini disebut sebagai model See - Do - Get ...Perubahan yang mendasar baru akan terjadi ketika ada perubahan cara melihat.

Ada cerita menarik mengenai sepasang suami-istri yang telah bercerai.

Suatu hari, Astri, nama wanita ini, datang ke kantor Roy, mantan suaminya. Saat itu Roy sedang melayani seorang pelanggan. Melihat Astri menunggu dengan gelisah, pimpinan kantor menghampirinya dan lalu mengajaknya berbincang-bincang. Si Bos berkata, "Saya begitu senang, suami Anda bekerja untuk saya. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami, begitu penuh perhatian dan baik budinya." Astri terperangah mendengar pujian si bos, tapi ia tak berkomentar apa-apa.

Roy ternyata mendengar komentar si bos. Setelah Astri pergi, ia menjelaskan kepada bosnya, "Kami tak hidup bersama lagi sejak 6 bulan lalu, dan sekarang dia hanya datang menemui saya bila ia membutuhkan tambahan uang untuk putra kami. " Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Roy. Ia mengangkatnya dan berkata, "Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu bersama setelah jam kerja." Setelah itu ia menghampiri bosnya dan berkata, "Astri dan saya telah memutuskan memulai lagi
perkawinan kami. Dia mulai melihat saya secara berbeda tak lama setelah Bapak berbicara padanya tempo hari."

Bayangkan, perubahan drastis terjadi semata - mata karena perubahan dalam cara melihat. Awalnya, Astri mungkin melihat suaminya sbg seorang yang menyebalkan, tapi ternyata di mata orang lain Roy sungguh menyenangkan. Astrilah yang mengajak rujuk, dan mereka kembali menikmati rumah tangga yang jauh lebih indah dari sebelumnya.

Inti dari 2 cerita di atas adalah “Segala sesuatu yang kita lakukan berakar dari cara kita melihat masalah”. Karena itu, bila ingin mengubah kehidupan kita, kita perlu melakukan revolusi cara berpikir. Stephen Covey pernah mengatakan : "Kalau kita menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku kita, tapi bila Anda menginginkan perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma kita." Covey benar, perubahan tidak selalu dimulai dari cara kita melihat (See). Ia bisa juga dimulai dari perilaku kita (Do). Namun, efeknya sangat berbeda.

Ini contoh sederhana :

Seorang anak bernama Alisa yang berusia empat tahun selalu menolak kalau diberi minyak ikan. Padahal, itu diperlukan untuk meningkatkan perkembangan otak serta daya tahan tubuhnya. Betapapun dibujuk, ia tetap menolak. Dengan maksud baik, kadang-kadang ia dipaksa menelan minyak ikan. Ia menangis dan meronta-ronta. Usaha tersebut memang berhasil memaksanya, tapi ini bukan win-win solution. Si orang tua menang, ia kalah. Ini pendekatan yang dimulai dengan Do.

Maka ditemukanlah cara lain yaitu dengan mengubah paradigma Alisa. Si orang tua tau Alisa sangat suka sirup, karena itu minyak ikan tersebut di aduk dengan air dalam gelas. Ternyata, ia sangat gembira dan menikmati "sirup" minyak ikan itu. Bahkan, sekarang ia tak mau mandi sebelum minum "sirup" tersebut.

Contoh sederhana ini menggambarkan proses perubahan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar). Perubahan ini bersifat sukarela dan datang dari Alisa sendiri. Jadi, tidak ada keterpaksaan. Inilah perubahan yang diawali dengan See.

Perubahan yang dimulai dengan Do, bersifat sebaliknya, yaitu outside-in. Perubahan seperti ini sering disertai penolakan. Jangankan dengan bawahan, dengan anak kecil seperti Alisa saja, hal ini sudah bermasalah.

Pendekatan hukum bersifat outside-in dan dimulai dengan Do. Orang tidak korupsi karena takut akan hukumannya, bukan karena kesadaran. Pada dasarnya orang tersebut belum berubah, karena itu ia masih mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkannya.

Pendekatan SDM berusaha mengubah cara berpikir orang. Akar Korupsi sebenarnya adalah pada cara orang melihat. Selama jabatan dilihat sebagai kesempatan menumpuk kekayaan, bukannya sebagai amanah yang harus dipertanggung- jawabkan, selama itu pula korupsi tak akan pernah hilang. Inilah pendekatan inside-out.

Memang jauh lebih sulit, tetapi efek yang dihasilkannya jauh lebih mendasar. Cara kita melihat masalah sesungguhnya adalah masalah itu sendiri. Karena itu, untuk mengubah kehidupan, yg perlu Anda lakukan Cuma satu : "Ubahlah cara Anda melihat masalah".

Mulailah melihat atasan yang otoriter, bawahan yang tak kooperatif, pelanggan yang cerewet dan pasangan yang mau menang sendiri sebagai tantangan dan rahmat yang terselubung. Orang-orang ini sangat berjasa bagi kita karena dapat membuat kita lebih kompeten, lebih profesional, lebih arif dan lebih sabar.

John Gray, pengarang buku Men Are from Mars and Women Are from Venus, melihat masalah dan kesulitan dengan cara yang berbeda.Ujarnya, "Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh".


Post : Link 2 Icha


16.13

Se-abad Kebangkitan Nasional Dalam Perspektif Sajak

Diposting oleh komunitas-podjok |

Sajak-sajak dibawah ini cukup pas untuk mengawal renungan kita akan momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sajak-sajak ini merupakan bentuk kepedulian para sahabat podjok di forum answers yahoo. Silahkan klik disini untuk berkunjung.

: Sebuah Refleksi Atas 100 Thn Kebangkitan Nasional

“.............Catatan REFLEKSI.................”
(Atas Situasi Bangsa Dan Negara Kita Skarang)

Ini bukan salah siapa,
Bukan para pahlawan yang berjuang dulu
Juga bukan para birokrat yang lebih sering ngecap
Tapi juga bukan para legislatif yang kerap berebut, bertengkar bagai kucing dan anjing
Bukan juga para yudikatif yang sering terlena dan takut
Tapi salah kita!
Yang mau ditipu
Salah kita,
Yang senang dibuai janji-janji palsu

Kita keliru
Kita bodoh
Karena mendukung
Karena memilih pembual

Bukan kita berputus asa
Bukan kita kehilangan nurani
Bukan kita kehabisan hati
Bukan kita mati rasa
Tapi mereka lebih tega
Mereka tak bernurani
Mereka tak berhati
Mereka tanpa rasa
bahkan : Tuhanpun mereka bunuh.

By. ROBERT

(RESA dan RAIHAN...please jangan berputus asa untuk menyuarakan NURANI Rakyat....perjuangan selalu membutuhkan waktu dan Pengorbanan. Sebagai Seniman...tulislah dengan indah Nurani Rakyat yang selama ini butuh disalurkan.....Good Poems!)

----------------------------------------------------------------------


PRINSIP DASAR DARI POLITIKUS


ketika aku miskin dan jelata
kubertanya....bisakah aku makan hari ini

disaat ku punya uang dikit
kubertanya...makan apa yah hari ini

ku punya uang cukup
lagi lagi bertanya...makan dimana

uangku udah banyak..bukan lagi makan yang kupikir
aku ingin punya kekuasaan

setelah kekuasaan di raih
lagi lagi soal makan kupikir
siapa yang akan kumakan
kas mana yang akan kulahap
proyek mana akan kuhabisi

rakyat..bukankah setiap hari aku cukup berteriak
semuanya untuk kesejahteraan rakyat
nah buktinya aja aku bisa makmur karena uang rakyat

jangan cerewet..semua kebagian..
asal kau turut denganku proyek akan terbagi
uang rakyat tak ada habisnya kugerogoti
negara juga ngga bakal hilang
paling juga ekonomi ambruk..pinjam aja ama IMF atau Bank Dunia
atau berutang pada negara lain
soal bayar sih gimana nanti aja
udah budaya kami kok sebagai pemimpin bangsa

aku akan tetap berteriak untuk kesejahteraan rakyat
aku akan berteriak semua untuk negara dan bangsa....
penjajahan udah terhapus dari muka bumi ini bung
sejak PBB berdiri di dunia..
yang ada adalah Ekonomi segaris dan pasar bebas
bersaing ketat dengan dunia...bila kau belum mengerti belajarlah
dan turutlah bersama kami...jadilah .....yang handal kelas kakap
jangan teri mulu dong..ngga bergengsi
hihihihihihi...ketawa kuntilanak

By. Resa 12 Mei 2008

-----------------------------------------------------------------------

rasanya memang tiada sisa atas kita
untuk sekedar menyenangkan diri dari keterpojokan ini
bahkan sekedar menipu diri

untuk menganggap ini mimpi
adakah pilihan yang lebih baik?

kita memilih dari yang terburuk
tapi harus dipilih..
seandainya mereka punya nurani seperti para tetua dulu

yang memegang pedang
hanya memandang menang
tak peduli hanya makan ubi di hutan
demi kemerdekaan..
kita harus bersuara

walau hanya gaung menggemabias di tembok bisu

By. RAIHAN

---------------------------------------------------------------

Telah diaturNya kedamaian
Telah diaturNya kecarut marutan
Telah diaturNya kehinaan
Dan telah diaturNya kebanggaan

Bukankah itu kita?
Bukanlah kita sama?
Bukankah kita tak lebih baik?
Bukankah kita lebih busuk?

Hati kita tak lebih mulia
Jiwa kita tak lebih bersih
Raga kita hanya fungi
Ntahlah..........

Mungkin kita tak pernah tahu
Apa kita akan sanggup
Menghampiri diri kita sendiri
Dikala kita terhanyut dalam ketidak sadaran
Yang nanti akan menjelang kita
Pasti kita melata seperti rayap
Menggerogoti diri sendiri
Menggerogoti orang lain
Menggerogoti keluarga kita
Menggerogoti kota kita
Menggerogoti bangsa kita sendiri
Apakah sang ratu akhirnya sadar?????
Ntahlah............

Kita akan menyaksikannya
Atau terus bungkam untuk selamanya.

by. IFA Jkt, 12/05/08 16.40 wib

06.17

REFLEKSI SE ABAD KEBANGKITAN NASIONAL

Diposting oleh komunitas-podjok |

Catatan Editorial :

Ketika membongkar ulang kumpulan arsip di beberapa folder yang ada di wahana Komunitas Podjok, kami menemukan beberapa tulisan menarik menyangkut “Indonesia” sebagai sebuah entitas kebangsaan. Menurut kami, tulisan-tulisan ini (meski tlah lama ditulis) hingga saat ini masih menemukan konteksnya, apalagi jika dikaitkan dengan momentum se-abad kebangkitan nasional. Tulisan-tulisan tersebut akan kami turunkan secara berangkai di Blog ini.

Atas nama “pembelajaran” dan “pencerahan”, sebelumnya Komunitas Podjok mohon maaf dan mohon izin kepada penulis asli dari tulisan-tulisan ini, karena tulisan ini kami posting tanpa menuliskan nama penulis. Hal ini bukan disengaja, karena tulisan-tulisan ini kami temukan dan kumpulkan dari lembar catatan yang terbuang. Dalam bentuk apapun, kami sangat tidak respect terhadap perilaku “Plagiat” dengan segala bentuknya. Untuk itu, jika tulisan ini terbaca oleh “penulis” asli, kami mohon konfirmasikan ke email kami di komunitaspodjok@gmail.com.

-----------------------------------------------------------------------------------

SENJAKALA INDONESIA
(Sebuah Renungan Menuju Indonesia yang Tercerahkan)

Sebuah refleksi atas perjalanan bangsa yang tercabik-cabik, dan kini tengah membangun langkah menuju perbaikan, tapi ibarat seorang balita yang tengah belajar berdiri terjatuh dan terjatuh menjadi rutinitas. Namun, apakah kita akan terus terjatuh ?

“…meski prihatin, tetapi tidak tanpa harapan. Kita ingin merefleksi,
dimana kita selaku kolektivitas bangsa tersesat ?
dan dimana
sebenarnya akar-akar keberadaan Republik Indonesia, serta
esensi motivasi dan watak perjuangan aslinya.
Demi suatu pemikiran ke arah mana rupa-rupanya perbaikan
pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara kita”
(Y.B. Mangunwijaya dalam kata pengantar buku Menuju Republik Indonesia Serikat)

Perjalanan Indonesia sebagai sebuah kolektivitas mendapat ujian bertubi-tubi, ketika social bond (kerekatan sosial) bangsa ini secara
perlahan mulai mendekati titik nadir, saat kita mulai kelalen (baca : terlupa) menterjemahkan demokrasi dengan anarkhi, saat perbedaan diisyaratkan dengan permusuhan, dan ketika kawula tak lagi percaya gusti-nya.

Tiga kondisi di atas bergelombang menghantam benteng kolektivitas bangsa kita, yang telah dibangun di atas darah dan airmata oleh pejuang-pejuang sejati bangsa ini yang hidup di zamannya. Bisa jadi terkesan terlalu historic-romantic. Baiklah mari kita mencoba menarik semua itu dalam realitas kekinian. Dimana Indonesia tengah tertatih-tatih mempertahankan kolektivitas di tengah badai konflik.

Konsepsi unity in diversity yang ditawarkan oleh rezim penguasa Indonesia telah dengan salah menafsirkan persatuan dengan metode dipaksakan, bukan sebuah persatuan yang dibangun di atas kesadaran. Orde lama dengan jargon revolusi telah dengan semena-mena meniadakan perbedaan, hingga rakyat dipaksa untuk seragam dan menafikkan perbedaan. Orde baru memaksakan persatuan dengan metode coercive, rakyat diarahkan untuk melihat perbedaan bukan sebagai sebuah ornamen keindahan tapi justru sebagai sebuah potensi konflik. Hingga ketika proses transisi politik terjadi di Indonesia, kebebasan berekspresi mendapat ruang, dalam kondisi masyarakat yang berubah itulah, warna-warni Indonesia lebih kasat mata. Namun, ternyata paham yang diajarkan dua rezim penguasa sebelumnya membuat rakyat kita tidak terlalu siap untuk berbeda. Maka, ketika itupula muncul gesekan-gesekan yang memunculkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Semua ini makin menjadi ketika elite politik tidak dengan bijaksana melihat gesekan-gesekan itu, dalam masyarakat yang relatif masih feodal, maka budaya patronage tetap melekat, elite kita justru menggunakan itu sebagai perisai politik.

Chris Hann dan Elizabet Dunn (1996) seperti dikutip Astrid S. Susanto (1999) menyebut perlu dikoreksi paham yang memisahkan secara mutlak antara kehidupan politik dan kehidupan sosial. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya tengah melakukan proses transisi dari tradisional ke modern, perhimpitan antara politik dan kehidupan sosial budaya begitu besar. Untuk itu, dalam mengkaji kerekatan sosial bangsa ini tak bisa lepas dari realitas politik nasional. Sebagai pembuktian, paling tidak analisis antropologis yang dilakukan Geertz yang memetakan masyarakat Jawa dalam tiga kelompok besar, santri, abangan dan priyayi bisa kita cross check dengan hasil pengelompokan politik yang dilakukan Herbert Feith dan Lance Casstle dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 yang memetakan empat kekuatan politik di Indonesia, Nasionalisme-Radikal, Islam, Sosialis dan tradisionalisme Jawa. Dari dua kajian tersebut kita dapat melihat persinggungan antara kehidupan politik dan sosial dalam masyarakat Indonesia.

Dari sketsa di atas perlu rasanya kita mengeksplorasi lebih dalam, telah sampai sejauhmana kesalahan kita menafsirkan pluralitas dan hal apa saja yang perlu kita siapkan guna membangun kesadaran kolektif menuju ikatan rasional-fungsional dalam pluralitas. Juga perlu digarisbawahi tiap kali berlangsung proses perubahan politik akan membawa implikasi pada tatanan sosial masyarakat. Budaya patronage akan membahayakan kerekatan sosial jika tidak di-manage dengan bijaksana.

Editor : goenipunk76

17.48

Sebuah RenunGan

Diposting oleh komunitas-podjok |

Sahabat, aKu ingin kau duduk tepat di hadapanku, mendengar aKu berkeluh-kesah dengan apa yang kerap melintas difikiranku...

Jika 100 Tahun kucoba tafsir dengan perjalanan hidup kita kelak, maka rentang waktu ini pasti tlah guratkan banyak warna untuk sebuah hidup yang kita jalani...Ntah mungkin pula kita bisa bertahan dalam jarak waktu sebesar ini untuk bisa rasakan dan maknai hidup itu kelak.
Satu yang pasti Sahabat, Negara-Bangsa bernama Indonesia ini, Negeri dimana kita dilahirkan, Negeri dimana kita dibesarkan, dan Negeri dimana kita mungkin akan dikuburkan, punya kesedihan yang begitu mendalam....Coba renungkan sejenak saja, 100 tahun sudah Negara-Bangsa ini mencoba bangkit, tapi apa yang tlah didapatkan..????

Lihatlah, Kemiskinan dengan wajah yang sangat nyata, masih saja bergelayut manja dalam hidup sebagian besar anak-bangsa di negeri ini. Kemiskinan tidak lagi abstrak, Kemiskinan kini telah menjadi sesuatu yang absolut.....
Di Negeri yang katanya Gemah Ripah Loh JInawi ini, masih terpampang jelas kerumitan hidup...Nasi aking, Busung Lapar, Nyawa yang Teregang oleh Kelaparan, Antrian panjang untuk sekedar seliteran minyak tanah, dan para jiwa yang menggelandang dengan menegadahkan tangan meminta recehan di persimpangan-persimpangan jalan raya dan perempatan jalan....

Kita hingga saat ini masih saja kehilangan jati diri sebagai sebuah Negara-Bangsa yang besar...Hidup seakan menjadi sebuah permainan tanpa sebuah kepastian....Para petinggi di negeri ini hanya mampu berkoar dan seakan tanpa lelah tetap berdiskusi panjang dalam ruang-ruang sejuk berpendingin degan kursi-kursi empuk......

Para pelakon yang lain, dengan dalih menyuarakan aspirasi rakyat (ntah kelompok rakyat yang mana) justru mempertontonkan sebuah dagelan tanpa lakon yang hanya akan membuat kita tersenyum kecut atau bahkan terpingkal tanpa makna...yah, tanpa makna...karena kita tlah MATI RASA...!!!

Sahabat,....

aKu tidak bermaksud membuat kau berfikir dalam, aKu hanya ingin membuat kau tertawa akan ku, karna apa yang kurenungkan dan skarang ku sampaikan padamu tlah buat ku GILA...!!!!


17.29

BUDAYA KERJA APARATUR : Akankah Cuma Jadi Retorika ?

Diposting oleh komunitas-podjok |

Di tengah derasnya arus tuntutan akan perlunya mengedepankan prinsip keterbukaan dalam sistem dan mekanisme yang berlaku di birokrasi Indonesia, budaya kerja aparatur beserta seluruh aspeknya, menjadi hal mendasar yang perlu direduksi kembali oleh setiap aparatur penyelenggara pemerintahan. Hal ini terkait erat dengan realitas praktek penyelenggaraan pemerintahan dengan nuansa permasalahan yang semakin kompleks dengan konsekuensi tantangan kerja yang dIhadapi oleh organisasi pemerintahan dengan para aparatur pemerintahan di dalamnya yang semakin kompleks pula. Selama ini para pemimpin dan aparatur masih sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja yang ada. Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja merupakan tugas berat yang harus ditempuh secara utuh dan menyeluruh dalam waktu yang sangat panjang, karena hal ini menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan perilaku aparatur itu sendiri.

Pembangunan karakter serta pembentukan sikap dan perilaku Aparatur yang dianalogikan sebagai Pengembangan Budaya Kerja Aparatur, merupakan suatu proses pengembangan cara pandang Aparatur dalam memberikan makna terhadap “kerja”, atau cara pandang Aparatur terhadap bidang yang ditekuninya dengan prinsip-prinsip moral yang dimiliki dan menimbulkan keyakinan yang kuat atas dasar-dasar nilai yang diyakininya, memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik, sehingga dalam diri seorang Aparatur akan tertanam prinsip” bekerja adalah ibadah, bekerja adalah panggilan untuk melaksanakan tugas mulia, agar menjadi orang pilihan yang unggul”.

Pengembangan Budaya Kerja Aparatur selama ini, telah dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, baik itu melalui aktivitas Pendidikan dan Pelatihan formal maupun non formal, seminar-seminar, pelaksanaan sosialisasi dan sebagainya dengan satu tujuan yaitu : “Terciptanya Aparatur Negara yang profesional, bermoral dan bertanggung jawab dan memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan, sehingga prestasi kerja merupakan suatu aktualisasi jati diri”.

Dalam pencapaian tujuan pengembangan Budaya Kerja dimaksud, ada beberapa unsur penting yang saling berintegrasi yaitu nilai-nilai, institusi/sistem kerja dan Sumber Daya Aparatur, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Semua unsur ini, harus menjadi perhatian dalam menata budaya kerja, bermula dari pilihan nilai-nilai apa saja yang akan dijadikan acuan, kemudian diinternalisasikan dalam setiap pribadi aparatur dan selanjutnya diimplementasikan dalam setiap sistem, prosedur dan tata laksana, sehingga akan menghasilkan kinerja berupa produk atau jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.

Namun dalam pelaksanaan tugas Birokrasi Pemerintahan selama ini, hal tersebut masih dirasakan “jauh panggang dari api”, karena terlalu banyak kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pencapaiannya. Kendala tersebut berasal dari lingkungan internal dan ekternal lingkup tugas aparatur itu sendiri. Ada beberapa faktor penting yang sering diabaikan dan menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu :

1. Masih Rendahnya Komitmen dan Konsistensi terhadap Visi, dan Misi Organisasi.

Terjadinya hal ini karena belum adanya pemahaman yang benar dari masing-masing individu dalam organisasi mengenai urgensi dari makna Visi dan Misi Organisasinya yang pada dasarnya merupakan acuan dan sasaran yang harus dicapai oleh organisasinya, masih terdapatnya kepentingan pribadi yang lebih menonjol dibandingkan dengan tujuan organisasi, seringnya terjadi kesalahan dan penyimpangan dalam penetapan kebijakan bahkan banyak kebijakan, aturan dan instrumen manajemen lainnya yang telah diperbaiki tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh berbeda dari yang diharapkan;

2. Masih Belum Seimbangnya Pelaksanaan Wewenang dan Tanggung Jawab Aparatur.

Terjadinya hal ini karena belum adanya upaya yang ditunjukkan oleh seluruh komponen sumber daya aparatur untuk menyeimbangkan Wewenang yang dimiliki dengan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kewenangan yang dimiliki, adanya istilah lempar bola dan lari dari tanggung jawab terhadap kewenangan yang telah dijalankan, dan belum adanya keberanian untuk mengambil resiko dari setiap kebijakan yang diambil.
Hal ini disebabkan karena masih adanya kekuasaan yang berlebihan pada masa pemerintahan orde baru yang belum dapat diperbaiki sepenuhnya. Banyak wewenang dan tanggung jawab aparatur yang belum diatur sesuai dengan kebutuhan organisasi. Akibatnya dimasyarakat terbangun dan berkembang sebuah opini tentang masih rendahnya tanggung jawab aparatur dalam bidang tugas masing-masing, wewenang yang kurang jelas dan manajemen pelayanan yang masih kurang baik, sehingga pelayanan yang diberikan oleh aparatur masih jauh dari harapan masyarakat, baik dari aspek kualitas maupun kapasitas layanan;

3. Masih Kurangnya Keikhlasan dan Kejujuran Aparatur dalam Melaksanakan Tugas.

Terjadinya hal ini disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran dan keimanan sebagian aparatur, ditambah dengan faktor budaya turun temurun yang telah menjadi tradisi sejak zaman penjajahan, seperti dalam pelaksanaan tugas harus ada “hasil” yang diperoleh, pemberian tip atau semacamnya yang telah menjadi kebiasaan, keharusan bahkan pemaksaan dan pemerasan secara halus. Aparatur yang tidak mengikuti tradisi tersebut bukannya diberikan penghargaan tetapi malah dianggap sebagai manusia yang aneh dalam birokrasi saat ini.

4. Masih Rendahnya Integritas dan Profesionalisme Dari Para Aparatur.

Adapun penyebab utama terjadinya hal ini disebabkan oleh masih belum diterapkannya merit system yang jelas dalam mengukur kinerja aparatur dan belum adanya upaya tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja tersebut; tidak adanya keharusan untuk mengikuti pelatihan tertentu yang berhubungan dengan bidang tugas dan bahkan sering kali terjadi Diklat yang diikuti aparatur tidak melihat urgensi dan tidak berkaitan langsung dengan bidang tugasnya.
Kondisi ini masih diperparah lagi dengan sikap dan perilaku aparatur sehari-hari seperti, sifat dan perilaku sebagian aparatur yang masih mau menang sendiri dan biasanya tidak mau disalahkan karena menganggap dirinya adalah orang yang punya kewenangan lebih, kurangnya kemauan untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi aktual saat ini, sering mangkir, datang terlambat dan cepat pulang (sehingga ada istilah negatif yang berkembang dikalangan aparatur saat ini yaitu “ hanya orang yang bodohlah yang mau terlambat dua kali dalam satu hari, peganglah prinsip kalau sudah terlambat datang maka jangan sampai terlambat untuk pulang, kalau bisa dipercepat”).

5. Masih Rendahnya Kreativitas dan Kepekaan Aparatur Terhadap Lingkungan Tugas.

Lingkungan kerja yang mendorong kreativitas aparatur haruslah ditumbuhkembangkan untuk memperbaiki cara kerja dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja. Kepekaan terhadap keluhan masyarakat haruslah ditanggapi dan dicarikan jalan pemecahannya, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat dicapai dan masih sangat perlu untuk ditingkatkan dalam pelaksanaannya, disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :

a. Ide baru (kreativitas) dari bawahan sering kurang mendapat perhatian (respon positif) dari atasan, karena dianggap akan mengganggu kebijakan dan prosedur baku yang sudah ada.

b. Banyak diantara para aparatur yang masih alergi terhadap kritikan.

c. Keluhan masyarakat sering kali diabaikan disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana, ataupun adanya keengganan aparatur untuk menanggapi keluhan tersebut karena adanya anggapan akan menyimpang dari kebijakan dan prosedur yang sudah ada dan bahkan akan merepotkan.

d. Tidak adanya kemauan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, karena dianggap akan menjadi bertambahnya beban tugas dan tanggung jawab serta adanya kecenderungan untuk selalu mengerjakan pekerjaan rutin dari waktu kewaktu karena dianggap telah dikuasai sepenuhnya dan jauh dari resiko.

6. Rendahnya Manajemen Kepemimpinan dan Keteladanan Aparatur.

Seorang Pemimpin harus menguasai manajemen kepemimpinan (leadership), mengenal secara mendalam Visi dan MIsi Organisasinya dan segala hal yang harus dilakukan oleh bawahannya, disamping itu seorang pimpinan harus dapat menjadi contoh bagi bawaannya dan dalam bidang pekerjaan dia harus cukup professional dan menguasai aspek-aspek yang diharapkan oleh bawahannya, harus mampu mengelola dan mendayagunakan potensi bawahan secara optimal, harus mampu memotivasi dan menumbuhkembangkan ide-ide bawahan serta punya kemampuan memimpin yang akan menjadi kerangka acuan bagi bawahannya, adil, tegas, rendah hati dan bertanggung jawab serta dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dalam sebuah Tim Work dari berbagai keberagaman yang ada.

Hal ini merupakan suatu unsur mutlak dalam pencapaian Pengembangan Budaya Kerja, namun seiring dengan perkembangan yang terjadi dewasa ini hal tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan mengingat masih banyak pimpinan yang belum dapat dijadikan contoh tauladan bawahan, adanya sikap pimpinan yang berorientasi Vertikal yang menyebabkan hilangnya kreativitas bawahan, ingin menang sendiri dan tidak mau melihat kekurangan dirinya, selalu bersikap sebagai seorang “birokrat feodal” yang selalu menuntut bawaannya untuk setia dan loyal, menuruti segala keinginan dan kemauannya, namun kepentingan dan kebutuhan bawahannya tidak diperhatikan, lebih senang dihormati dan dipuji walaupun bertentangan dengan kualitas dirinya.

7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok masih merupakan slogan belum diterapkan secara bersungguh-sungguh.

Kebersamaan dimaksudkan disini adalah merupakan suasana hati yang merasakan dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok kerja tertentu, sehinga tumbuh perasaan bersama dalam kelompok yang melahirkan kelompok kerja dan sinerji dalam melaksanakan tugas bersama untuk mencapai sasaran kerja secara menyeluruh. Sering kali kita mendengar ucapan dari para pimpinan” satu untuk semua, semua untuk satu” atau istilah-istilah lainnya yang mempunyai makna serupa. Namun kenyataannya kebersamaan ini sangat jarang kita jumpai, karena masing-masing individu lebih banyak terpaku pada kepentingan individu masing-masing, enggan untuk mengorbankan kepentingan individunya demi kepentingan kelompok. Mereka bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada, namun belum memiliki kesadaran bahwa dirinya bekerja dalam suatu system yang menyeluruh, mereka sama-sama bekerja namun belum dapat untuk bekerja sama.

8. Ketepatan dan Kecepatan masih dalam angan-angan.

Analisis jabatan, uraian jabatan, persyaratan jabatan dan latihan dalam jabatan haruslah menjadi prosedur baku dalam setiap pelaksanaan penempatan aparatur dalam suatu posisi jabatan, sehinga yang akan muncul adalah penempatan setiap orang pada tugas / jabatan yang tepat (the right man on the right place). Disamping itu perlunya pemanfaatan teknologi yang tepat, untuk dapat mengatasi keterlambatan dan kesalahan, mendorong transparansi, memperluas jangkauan pelayanan sehingga akan meningkatkan efisiensi dan produktifitas kerja,
Kondisi yang ada saat ini adalah kebiasaan kerja aparatur yang kurang tepat sasaran dan tidak cepat dalam menyelesaikan suatu urusan, bahkan sering terkesan asal jadi, asal bekerja dan kurang berorientasi pada kualitas pelayanan. Kebiasaan bekerja secara terburu-buru sehingga banyak terjadi kesalahan dalam pekerjaan atau bekerja dengan sangat lambat, bahkan ada pameo yang berkembang “ kalau bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah”, atau istilah “senang melihat orang susah, susah melihat orang senang”. Yang lebih mengkhawatirkan bahwa pelaksanaan tugas atau pekerjaan tersebut sering kali diintervensi oleh faktor eksternal, sehinga aparatur tidak akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.

9. Disiplin dan Keteraturan Kerja belum dapat diwujudkan.

Kedisiplinan dan keteraturan kerja aparatur saat ini masih rendah, peraturan disiplin kerja telah dituangkan dalam prosedur-prosedur kerja yang lengkap, namun belum dilaksanakan dengan baik dan masih dalam bentuk formalitas. Dalam pelaksanaannya disiplin belum dapat dijiwai oleh aparatur, kesadaran penegakan disiplin masih rendah dan masih adanya “budaya kuli”. Para aparatur pada saat-saat tertentu akan aktif bekerja karena telah mengetahui jadwal dan kebiasaan pihak atasan yang akan melakukan pengecekan, seperti contohnya pada hari pertama bekerja setelah pelaksanaan libur bersama Hari Raya keagamaan ataupun Tahun Baru, sudah dapat dipastikan akan adanya Inspeksi Mendadak (SIDAK), namun di luar itu menurut sebagian mereka adalah waktu-waktu yang aman untuk mangkir dari pekerjaan, disamping itu masih terdapatnya sistem dan prosedur kerja yang runit dan berbelit-belit menyebabkan aparat secara tidak sitematis.

10. Kurangnya Dedikasi dan Loyalitas

Dedikasi dan loyalitas yang dimaksudkan disini adalah sifat rela berkorban dan iwa pengabdian terhadap instansi, taat serta setia dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai aparatur. Yang terjadi adalah kita salah dalam menerapkan dedikasi dan loyalitas, banyak diantara kita sebagai aparatur yang hanya mempunyai dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap atasan, demi suatu maksud-maksud tertentu, namun kita terkadang mengabaikan dedikasi dan loyalitas terhadap Visi, Misi dan tugas instansi serta budaya kerja yang ada.

11. Ketekunan dan Kesabaran yang masih kurang.

Kurangnya ketekunan dan kesabaran akan menyebabkan terjadinya “mentalitas jalan pintas”, yaitu tidak mengikuti prosedur yang normal agar cepat sampai ketujuan. Pada kondisi sekarang hal inilah yang sering terjadi, yang mengakibatkan aparatur sering tersandung dan terpaksa berurusan dengan pihak pemeriksa. Hal ini terjadi karena kurangnya kesabaran dan kurang amanah dalam mengemban tugas sehingga mudah goyah dengan godaan dan iming-iming financial. Disamping itu masih banyaknya para aparat yang kurang tekun dalam melaksanakan tugas, mereka sering kali menunda pekerjaan karena merasa tidak ada beban dan tanggung jawab moral. Sebaliknya ada yang terburu-buru dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar terbebas dari tangung jawab tanpa memperhatikan kualitas hasil kerja, baik dari segi ketelitian maupun kesempurnaan pekerjaannya.

12. Kurangnya Kejelasan dan Ketegasan pembagian tugas dan kewenangan dalam organisasi.

Pada suatu kesempatan penulis pernah bertanya kepada beberapa orang staf rekan kerja “ apakah untuk besok hari mereka telah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, kebanyakan mereka menjawab belum tahu, mereka masih akan menunggu perintah atasan, apa yang akan mereka kerjakan untuk besok hari”.

Mungkin kondisi ini hampir terjadi di setiap Satuan Kerja / Organisasi di Negara ini. Melihat kondisi di atas, dalam benak kita tentu akan muncul pertanyaan, kenapa hal yang seperti ini terjadi ? Sama seperti yang ada dibenak mereka. Menurut mereka, hal ini terjadi disebabkan karena belum adanya kejelasan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas kepada staf, mereka bekerja setelah adanya perintah dari atasan dan terkadang tanpa tahu apa yang mereka kerjakan. Di satu sisi mungkin ini terjadi karena kurangnya kreativitas dan kepedulian bawahan terhadap lingkungan organisasinya, namun disisi lain, kondisi seperti ini tidak akan terjadi apabila pihak atasan telah memberikan tugas dan tanggung jawab pekerjaan spesifik yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh setiap staf pada setiap harinya dan selalu melaksanakan pengawasan dan evalusai terhadap pelaksanaan tugas yang dibebankan tersebut.

13. Pemberian tugas dan tanggung jawab tidak memperhatikan karakter, kemampuan, bakat dan minat bawahan.

Selama ini sering kali kita mendengar bahwa si Anu tidak bisa bekerja, si Anu malas dan tidak bisa dipakai dalam pekerjaan. Pada prinsipnya tidak ada seorangpun dalam suatu Satuan Kerja / Organisasi yang tidak bisa dimanfaatkan. Ada pepatah dari Ranah Minang yang mengungkapkan bahwa : “Urang lumpuah panjago rumah. Urang buto pa ambuih lasuang”. artinya setiap manusia itu ada manfaatnya.

Urang Lumpuah Panjago Rumah mempunyai makna bahwa orang yang lumpuh serahkanlah tugas untuk menjaga rumah, karena sudah dapat dipastikan dia akan melaksanakan tugas dengan baik dan tidak akan kemana-mana karena lumpuh, lain halnya kalau diserahkan kepada manusia yang kedua kakinya normal, suatu saat dia pasti akan pergi meninggalkan rumah karena ada keperluan lain.

Urang Buto Pa ambuih Lasuang mempunyai makna bahwa orang yang buta berikanlah tugas untuk meniup lesung, karena sudah dapat dipastikan dia akan berhasil dalam pekerjaannya sebab matanya tidak akan kelilipan terkena debu disebabkan karena buta, lain halnya kalau seandainya pekerjaan tersebut diserahkan kepada orang yang matanya normal, pastikan akan kelilipan dan pekerjaanpun akan terkendala.

Dalam birokrasi pemerintahanpun seharusnya kita mempunyai prinsip seperti pepatah di atas, tidak ada bawahan yang tidak mampu bekerja, tidak ada seorangpun bawahan yang tidak terpakai, apabila pimpinan mengetahui karakter, kemampuan, potensi dan minat setiap bawahan. Seorang bawahan yang tidak bisa mengoperasikan komputer, janganlah disuruh untuk membuat dan mengetik laporan, surat ataupun pekerjaan yang berhubungan dengan komputer, tetapi berikanlah dia tugas diluar itu seperti sebagai caraka (pengantar surat), supir, petugas lalu lintas, ataupun tugas tugas lainnya yang mampu dikerjakan dan sebaliknya, seorang staf yang punya kemampuan sebagai konseptor, ahli komputer dan pekerjaan administrasi, janganlah diserahkan tugas sebagai caraka ataupun tugas lainnya yang hanya mengandalkan tenaga, jika hal itu tetap dipaksakan maka lama kelamaan yang bersangkutan akan menjadi malas ataupun tetap bekerja karena terpaksa.

Seorang pimpinan organisasi yang memahami kondisi organisasi dan bawahannya akan menganggap hal tersebut sebagai aset yang sangat potensial yang perlu dikembangkan dan diberdayakan dalam memajukan Visidan Misi organisasinya.

14. Pemberian Reward dan Konsistensi Penjatuhan Punishment Yang Masih Kurang.

Dalam suatu kesempatan diskusi dikalangan aparatur, pernah terlontarkan pertanyaan yang perlu menjadi bahan pemikiran bersama, “ Kenapa Budaya Kerja dapat diterapkan di Instansi Swasta ? Kenapa pelayanan yang diberikan aparatur dinilai oleh sebahagian masyarakat masih rendah dan belum dapat memuaskan masyarakat, dibandingkan dengan yang diberikan oleh pihak Intsansi swasta ? Kenapa motivasi dan semangat pegawai dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparatur masih kurang ? “ dan segala macam pertanyaan kenapa….? Yang pada intinya semuanya menunjukkan rendahnya penilaian terhadap kinerja aparatur pemerintah saat ini.
Menurut beberapa kalangan pengamat Budaya Kerja, hal ini terjadi disamping belum adanya standar baku dalam penilaian kinerja individu aparatur, Pemberian Reward (penghargaan terhadap prestasi) dan Konsistensi dalam Penjatuhan Punishment (sanksi hukuman terhadap pelanggaran) pun yang masih sangat kurang. Aparatur yang punya prestasi belum dihargai, sering terjadi kesenjangan dalam pengembangan karir aparatur, promosi dan pengembangan masih berorientasi kepada personal bukan berdasarkan kinerja. Begitu juga halnya dalam pemberian Punishment, terlalu banyak toleransi, faktor dan pertimbangan – pertimbangan lain yang digunakan di luar aturan baku yang telah ditetapkan.

15. Keadilan dan Keterbukaan tidak sepenuhnya dijalankan.

Idealnya seorang Aparatur haruslah dapat memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang dilayaninya sesuai dengan fungsi, tanggung jawab dan kewenangan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai aparatur, dan setiap tugas yang dilaksanakan tidak dikerjakan secara sembunyi-sembunyi, adanya keterbukaan, dan tetap mengacu kepada standar baku yang elah ditetapkan, baik itu mengenai prosedur, persyaratan, waktu maupun biaya yang diperlukan dalam penyelesaian urusan.

Keadaan yang terjadi dewasa ini adalah masih banyaknya aparatur yang belum memahami makna keadilan dan keterbukaan itu sendiri, sehingga dalam penerapannya sering terjadi kesenjangan dan perlakuan yang diskriminatif disebabkan karena adanya faktor-faktor kepentingan pribadi dan golongan, kepentingan material lebih diutamakan karena masih rendahnya pendapatan aparatur itu sendiri. Kondisi seperti ini makin berkembang dengan belum adanya rekruitmen dan pengembangan karir aparatur yang belum mengacu kepada Meryt System serta penilaian kinerja individu yang belum jelas.

16. Penguasaan Ilmu dan Teknologi Yang Masih Rendah.

Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan suatu persyaratan yang sangat mutlak dalam penerapan Budaya Kerja. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat dialihkan (ditransformasikan) menjadi nilai nilai- yang dapat diterapkan dalam manajemen pemerintahan sehingga akan diperoleh hasil yang optimal, efektif dan efisien. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi akan dapat dikembangkan dalam mencari cara / motode-metode baru yang lebih cepat dalam penyelesaian pekerjaan, sehingga efektifitas dan efisiensi kinerja akan dapat diwujudkan.

Dikalangan aparatur sendiri, penguasaan IPTEK ini dirasakan masih sangat kurang sekali. Seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini masih belum berorientasi kepada perkembangan dan kemajuan, masih banyak diantara kita yang masih berfikiran sempit dalam menanggapi kemajuan IPTEK tersebut, tanpa memperhatikan hasil yang akan diperoleh dengan pengembangan IPTEK di lingkungan kerjanya, usulan pengembangan IPTEK pun masih dipandang sebelah mata, masih adanya anggapan kalau bisa dikerjakan secara manual kenapa mesti mengunakan kecanggihan teknologi. Keadaan yang terjadi seperti inilah yang menyebabkan birokrasi pemerintahan selalu tertinggal jauh dari swasta yang selalu mengikuti, mengadopsi serta menerapkan teknologi dalam pencapaian kinerja organisasinya.

Melihat kondisi riil di atas dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan Budaya Kerja Aparatur di Birokrasi Pemerintahan ini, maka untuk dapat mewujudkan Budaya Kerja Aparatur tersebut merupakan hal yang sangat sulit pada saat ini, disamping harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan adanya komitmen bersama untuk memutuskan rantai budaya negatif birokrasi yang sudah tertanam dan mengakar di lingkungan aparatur selama ini, namun menurut beberapa rekan-rekan aparatur di lingkungan kerja penulis, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, dengan niat baik, kemauan, komitmen dan kebulatan tekad dari semua pihak untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik, serta diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan aparatur, mereka sangat yakin dan percaya Budaya Kerja Aparatur tersebut akan dapat tercapai, dan menurut mereka kunci dari semua itu adalah adanya kemauan dan dukungan dari pimpinan, kebersamaan bukan hanya slogan, namun dapat diaplikasikan dalam setiap oganisasi secara nyata, dengan moto : “ Aku ada karena orang lain. Aku berhasil karena orang lain dan Aku tidak akan berarti apa-apa tanpa orang lain”.



(poDJok-rifqieadlie : dari berbagai sumber).

Subscribe