Di tengah derasnya arus tuntutan akan perlunya mengedepankan prinsip keterbukaan dalam sistem dan mekanisme yang berlaku di birokrasi Indonesia, budaya kerja aparatur beserta seluruh aspeknya, menjadi hal mendasar yang perlu direduksi kembali oleh setiap aparatur penyelenggara pemerintahan. Hal ini terkait erat dengan realitas praktek penyelenggaraan pemerintahan dengan nuansa permasalahan yang semakin kompleks dengan konsekuensi tantangan kerja yang dIhadapi oleh organisasi pemerintahan dengan para aparatur pemerintahan di dalamnya yang semakin kompleks pula. Selama ini para pemimpin dan aparatur masih sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja yang ada. Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja merupakan tugas berat yang harus ditempuh secara utuh dan menyeluruh dalam waktu yang sangat panjang, karena hal ini menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan perilaku aparatur itu sendiri.
Pembangunan karakter serta pembentukan sikap dan perilaku Aparatur yang dianalogikan sebagai Pengembangan Budaya Kerja Aparatur, merupakan suatu proses pengembangan cara pandang Aparatur dalam memberikan makna terhadap “kerja”, atau cara pandang Aparatur terhadap bidang yang ditekuninya dengan prinsip-prinsip moral yang dimiliki dan menimbulkan keyakinan yang kuat atas dasar-dasar nilai yang diyakininya, memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik, sehingga dalam diri seorang Aparatur akan tertanam prinsip” bekerja adalah ibadah, bekerja adalah panggilan untuk melaksanakan tugas mulia, agar menjadi orang pilihan yang unggul”.
Pengembangan Budaya Kerja Aparatur selama ini, telah dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, baik itu melalui aktivitas Pendidikan dan Pelatihan formal maupun non formal, seminar-seminar, pelaksanaan sosialisasi dan sebagainya dengan satu tujuan yaitu : “Terciptanya Aparatur Negara yang profesional, bermoral dan bertanggung jawab dan memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan, sehingga prestasi kerja merupakan suatu aktualisasi jati diri”.
Dalam pencapaian tujuan pengembangan Budaya Kerja dimaksud, ada beberapa unsur penting yang saling berintegrasi yaitu nilai-nilai, institusi/sistem kerja dan Sumber Daya Aparatur, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Semua unsur ini, harus menjadi perhatian dalam menata budaya kerja, bermula dari pilihan nilai-nilai apa saja yang akan dijadikan acuan, kemudian diinternalisasikan dalam setiap pribadi aparatur dan selanjutnya diimplementasikan dalam setiap sistem, prosedur dan tata laksana, sehingga akan menghasilkan kinerja berupa produk atau jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Namun dalam pelaksanaan tugas Birokrasi Pemerintahan selama ini, hal tersebut masih dirasakan “jauh panggang dari api”, karena terlalu banyak kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pencapaiannya. Kendala tersebut berasal dari lingkungan internal dan ekternal lingkup tugas aparatur itu sendiri. Ada beberapa faktor penting yang sering diabaikan dan menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu :
1. Masih Rendahnya Komitmen dan Konsistensi terhadap Visi, dan Misi Organisasi.
Terjadinya hal ini karena belum adanya pemahaman yang benar dari masing-masing individu dalam organisasi mengenai urgensi dari makna Visi dan Misi Organisasinya yang pada dasarnya merupakan acuan dan sasaran yang harus dicapai oleh organisasinya, masih terdapatnya kepentingan pribadi yang lebih menonjol dibandingkan dengan tujuan organisasi, seringnya terjadi kesalahan dan penyimpangan dalam penetapan kebijakan bahkan banyak kebijakan, aturan dan instrumen manajemen lainnya yang telah diperbaiki tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh berbeda dari yang diharapkan;
2. Masih Belum Seimbangnya Pelaksanaan Wewenang dan Tanggung Jawab Aparatur.
Terjadinya hal ini karena belum adanya upaya yang ditunjukkan oleh seluruh komponen sumber daya aparatur untuk menyeimbangkan Wewenang yang dimiliki dengan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kewenangan yang dimiliki, adanya istilah lempar bola dan lari dari tanggung jawab terhadap kewenangan yang telah dijalankan, dan belum adanya keberanian untuk mengambil resiko dari setiap kebijakan yang diambil.
Hal ini disebabkan karena masih adanya kekuasaan yang berlebihan pada masa pemerintahan orde baru yang belum dapat diperbaiki sepenuhnya. Banyak wewenang dan tanggung jawab aparatur yang belum diatur sesuai dengan kebutuhan organisasi. Akibatnya dimasyarakat terbangun dan berkembang sebuah opini tentang masih rendahnya tanggung jawab aparatur dalam bidang tugas masing-masing, wewenang yang kurang jelas dan manajemen pelayanan yang masih kurang baik, sehingga pelayanan yang diberikan oleh aparatur masih jauh dari harapan masyarakat, baik dari aspek kualitas maupun kapasitas layanan;
3. Masih Kurangnya Keikhlasan dan Kejujuran Aparatur dalam Melaksanakan Tugas.
Terjadinya hal ini disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran dan keimanan sebagian aparatur, ditambah dengan faktor budaya turun temurun yang telah menjadi tradisi sejak zaman penjajahan, seperti dalam pelaksanaan tugas harus ada “hasil” yang diperoleh, pemberian tip atau semacamnya yang telah menjadi kebiasaan, keharusan bahkan pemaksaan dan pemerasan secara halus. Aparatur yang tidak mengikuti tradisi tersebut bukannya diberikan penghargaan tetapi malah dianggap sebagai manusia yang aneh dalam birokrasi saat ini.
4. Masih Rendahnya Integritas dan Profesionalisme Dari Para Aparatur.
Adapun penyebab utama terjadinya hal ini disebabkan oleh masih belum diterapkannya merit system yang jelas dalam mengukur kinerja aparatur dan belum adanya upaya tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja tersebut; tidak adanya keharusan untuk mengikuti pelatihan tertentu yang berhubungan dengan bidang tugas dan bahkan sering kali terjadi Diklat yang diikuti aparatur tidak melihat urgensi dan tidak berkaitan langsung dengan bidang tugasnya.
Kondisi ini masih diperparah lagi dengan sikap dan perilaku aparatur sehari-hari seperti, sifat dan perilaku sebagian aparatur yang masih mau menang sendiri dan biasanya tidak mau disalahkan karena menganggap dirinya adalah orang yang punya kewenangan lebih, kurangnya kemauan untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi aktual saat ini, sering mangkir, datang terlambat dan cepat pulang (sehingga ada istilah negatif yang berkembang dikalangan aparatur saat ini yaitu “ hanya orang yang bodohlah yang mau terlambat dua kali dalam satu hari, peganglah prinsip kalau sudah terlambat datang maka jangan sampai terlambat untuk pulang, kalau bisa dipercepat”).
5. Masih Rendahnya Kreativitas dan Kepekaan Aparatur Terhadap Lingkungan Tugas.
Lingkungan kerja yang mendorong kreativitas aparatur haruslah ditumbuhkembangkan untuk memperbaiki cara kerja dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja. Kepekaan terhadap keluhan masyarakat haruslah ditanggapi dan dicarikan jalan pemecahannya, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat dicapai dan masih sangat perlu untuk ditingkatkan dalam pelaksanaannya, disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
a. Ide baru (kreativitas) dari bawahan sering kurang mendapat perhatian (respon positif) dari atasan, karena dianggap akan mengganggu kebijakan dan prosedur baku yang sudah ada.
b. Banyak diantara para aparatur yang masih alergi terhadap kritikan.
c. Keluhan masyarakat sering kali diabaikan disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana, ataupun adanya keengganan aparatur untuk menanggapi keluhan tersebut karena adanya anggapan akan menyimpang dari kebijakan dan prosedur yang sudah ada dan bahkan akan merepotkan.
d. Tidak adanya kemauan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, karena dianggap akan menjadi bertambahnya beban tugas dan tanggung jawab serta adanya kecenderungan untuk selalu mengerjakan pekerjaan rutin dari waktu kewaktu karena dianggap telah dikuasai sepenuhnya dan jauh dari resiko.
6. Rendahnya Manajemen Kepemimpinan dan Keteladanan Aparatur.
Seorang Pemimpin harus menguasai manajemen kepemimpinan (leadership), mengenal secara mendalam Visi dan MIsi Organisasinya dan segala hal yang harus dilakukan oleh bawahannya, disamping itu seorang pimpinan harus dapat menjadi contoh bagi bawaannya dan dalam bidang pekerjaan dia harus cukup professional dan menguasai aspek-aspek yang diharapkan oleh bawahannya, harus mampu mengelola dan mendayagunakan potensi bawahan secara optimal, harus mampu memotivasi dan menumbuhkembangkan ide-ide bawahan serta punya kemampuan memimpin yang akan menjadi kerangka acuan bagi bawahannya, adil, tegas, rendah hati dan bertanggung jawab serta dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dalam sebuah Tim Work dari berbagai keberagaman yang ada.
Hal ini merupakan suatu unsur mutlak dalam pencapaian Pengembangan Budaya Kerja, namun seiring dengan perkembangan yang terjadi dewasa ini hal tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan mengingat masih banyak pimpinan yang belum dapat dijadikan contoh tauladan bawahan, adanya sikap pimpinan yang berorientasi Vertikal yang menyebabkan hilangnya kreativitas bawahan, ingin menang sendiri dan tidak mau melihat kekurangan dirinya, selalu bersikap sebagai seorang “birokrat feodal” yang selalu menuntut bawaannya untuk setia dan loyal, menuruti segala keinginan dan kemauannya, namun kepentingan dan kebutuhan bawahannya tidak diperhatikan, lebih senang dihormati dan dipuji walaupun bertentangan dengan kualitas dirinya.
7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok masih merupakan slogan belum diterapkan secara bersungguh-sungguh.
Kebersamaan dimaksudkan disini adalah merupakan suasana hati yang merasakan dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok kerja tertentu, sehinga tumbuh perasaan bersama dalam kelompok yang melahirkan kelompok kerja dan sinerji dalam melaksanakan tugas bersama untuk mencapai sasaran kerja secara menyeluruh. Sering kali kita mendengar ucapan dari para pimpinan” satu untuk semua, semua untuk satu” atau istilah-istilah lainnya yang mempunyai makna serupa. Namun kenyataannya kebersamaan ini sangat jarang kita jumpai, karena masing-masing individu lebih banyak terpaku pada kepentingan individu masing-masing, enggan untuk mengorbankan kepentingan individunya demi kepentingan kelompok. Mereka bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada, namun belum memiliki kesadaran bahwa dirinya bekerja dalam suatu system yang menyeluruh, mereka sama-sama bekerja namun belum dapat untuk bekerja sama.
8. Ketepatan dan Kecepatan masih dalam angan-angan.
Analisis jabatan, uraian jabatan, persyaratan jabatan dan latihan dalam jabatan haruslah menjadi prosedur baku dalam setiap pelaksanaan penempatan aparatur dalam suatu posisi jabatan, sehinga yang akan muncul adalah penempatan setiap orang pada tugas / jabatan yang tepat (the right man on the right place). Disamping itu perlunya pemanfaatan teknologi yang tepat, untuk dapat mengatasi keterlambatan dan kesalahan, mendorong transparansi, memperluas jangkauan pelayanan sehingga akan meningkatkan efisiensi dan produktifitas kerja,
Kondisi yang ada saat ini adalah kebiasaan kerja aparatur yang kurang tepat sasaran dan tidak cepat dalam menyelesaikan suatu urusan, bahkan sering terkesan asal jadi, asal bekerja dan kurang berorientasi pada kualitas pelayanan. Kebiasaan bekerja secara terburu-buru sehingga banyak terjadi kesalahan dalam pekerjaan atau bekerja dengan sangat lambat, bahkan ada pameo yang berkembang “ kalau bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah”, atau istilah “senang melihat orang susah, susah melihat orang senang”. Yang lebih mengkhawatirkan bahwa pelaksanaan tugas atau pekerjaan tersebut sering kali diintervensi oleh faktor eksternal, sehinga aparatur tidak akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.
9. Disiplin dan Keteraturan Kerja belum dapat diwujudkan.
Kedisiplinan dan keteraturan kerja aparatur saat ini masih rendah, peraturan disiplin kerja telah dituangkan dalam prosedur-prosedur kerja yang lengkap, namun belum dilaksanakan dengan baik dan masih dalam bentuk formalitas. Dalam pelaksanaannya disiplin belum dapat dijiwai oleh aparatur, kesadaran penegakan disiplin masih rendah dan masih adanya “budaya kuli”. Para aparatur pada saat-saat tertentu akan aktif bekerja karena telah mengetahui jadwal dan kebiasaan pihak atasan yang akan melakukan pengecekan, seperti contohnya pada hari pertama bekerja setelah pelaksanaan libur bersama Hari Raya keagamaan ataupun Tahun Baru, sudah dapat dipastikan akan adanya Inspeksi Mendadak (SIDAK), namun di luar itu menurut sebagian mereka adalah waktu-waktu yang aman untuk mangkir dari pekerjaan, disamping itu masih terdapatnya sistem dan prosedur kerja yang runit dan berbelit-belit menyebabkan aparat secara tidak sitematis.
10. Kurangnya Dedikasi dan Loyalitas
Dedikasi dan loyalitas yang dimaksudkan disini adalah sifat rela berkorban dan iwa pengabdian terhadap instansi, taat serta setia dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai aparatur. Yang terjadi adalah kita salah dalam menerapkan dedikasi dan loyalitas, banyak diantara kita sebagai aparatur yang hanya mempunyai dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap atasan, demi suatu maksud-maksud tertentu, namun kita terkadang mengabaikan dedikasi dan loyalitas terhadap Visi, Misi dan tugas instansi serta budaya kerja yang ada.
11. Ketekunan dan Kesabaran yang masih kurang.
Kurangnya ketekunan dan kesabaran akan menyebabkan terjadinya “mentalitas jalan pintas”, yaitu tidak mengikuti prosedur yang normal agar cepat sampai ketujuan. Pada kondisi sekarang hal inilah yang sering terjadi, yang mengakibatkan aparatur sering tersandung dan terpaksa berurusan dengan pihak pemeriksa. Hal ini terjadi karena kurangnya kesabaran dan kurang amanah dalam mengemban tugas sehingga mudah goyah dengan godaan dan iming-iming financial. Disamping itu masih banyaknya para aparat yang kurang tekun dalam melaksanakan tugas, mereka sering kali menunda pekerjaan karena merasa tidak ada beban dan tanggung jawab moral. Sebaliknya ada yang terburu-buru dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar terbebas dari tangung jawab tanpa memperhatikan kualitas hasil kerja, baik dari segi ketelitian maupun kesempurnaan pekerjaannya.
12. Kurangnya Kejelasan dan Ketegasan pembagian tugas dan kewenangan dalam organisasi.
Pada suatu kesempatan penulis pernah bertanya kepada beberapa orang staf rekan kerja “ apakah untuk besok hari mereka telah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, kebanyakan mereka menjawab belum tahu, mereka masih akan menunggu perintah atasan, apa yang akan mereka kerjakan untuk besok hari”.
Mungkin kondisi ini hampir terjadi di setiap Satuan Kerja / Organisasi di Negara ini. Melihat kondisi di atas, dalam benak kita tentu akan muncul pertanyaan, kenapa hal yang seperti ini terjadi ? Sama seperti yang ada dibenak mereka. Menurut mereka, hal ini terjadi disebabkan karena belum adanya kejelasan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas kepada staf, mereka bekerja setelah adanya perintah dari atasan dan terkadang tanpa tahu apa yang mereka kerjakan. Di satu sisi mungkin ini terjadi karena kurangnya kreativitas dan kepedulian bawahan terhadap lingkungan organisasinya, namun disisi lain, kondisi seperti ini tidak akan terjadi apabila pihak atasan telah memberikan tugas dan tanggung jawab pekerjaan spesifik yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh setiap staf pada setiap harinya dan selalu melaksanakan pengawasan dan evalusai terhadap pelaksanaan tugas yang dibebankan tersebut.
13. Pemberian tugas dan tanggung jawab tidak memperhatikan karakter, kemampuan, bakat dan minat bawahan.
Selama ini sering kali kita mendengar bahwa si Anu tidak bisa bekerja, si Anu malas dan tidak bisa dipakai dalam pekerjaan. Pada prinsipnya tidak ada seorangpun dalam suatu Satuan Kerja / Organisasi yang tidak bisa dimanfaatkan. Ada pepatah dari Ranah Minang yang mengungkapkan bahwa : “Urang lumpuah panjago rumah. Urang buto pa ambuih lasuang”. artinya setiap manusia itu ada manfaatnya.
Urang Lumpuah Panjago Rumah mempunyai makna bahwa orang yang lumpuh serahkanlah tugas untuk menjaga rumah, karena sudah dapat dipastikan dia akan melaksanakan tugas dengan baik dan tidak akan kemana-mana karena lumpuh, lain halnya kalau diserahkan kepada manusia yang kedua kakinya normal, suatu saat dia pasti akan pergi meninggalkan rumah karena ada keperluan lain.
Urang Buto Pa ambuih Lasuang mempunyai makna bahwa orang yang buta berikanlah tugas untuk meniup lesung, karena sudah dapat dipastikan dia akan berhasil dalam pekerjaannya sebab matanya tidak akan kelilipan terkena debu disebabkan karena buta, lain halnya kalau seandainya pekerjaan tersebut diserahkan kepada orang yang matanya normal, pastikan akan kelilipan dan pekerjaanpun akan terkendala.
Dalam birokrasi pemerintahanpun seharusnya kita mempunyai prinsip seperti pepatah di atas, tidak ada bawahan yang tidak mampu bekerja, tidak ada seorangpun bawahan yang tidak terpakai, apabila pimpinan mengetahui karakter, kemampuan, potensi dan minat setiap bawahan. Seorang bawahan yang tidak bisa mengoperasikan komputer, janganlah disuruh untuk membuat dan mengetik laporan, surat ataupun pekerjaan yang berhubungan dengan komputer, tetapi berikanlah dia tugas diluar itu seperti sebagai caraka (pengantar surat), supir, petugas lalu lintas, ataupun tugas tugas lainnya yang mampu dikerjakan dan sebaliknya, seorang staf yang punya kemampuan sebagai konseptor, ahli komputer dan pekerjaan administrasi, janganlah diserahkan tugas sebagai caraka ataupun tugas lainnya yang hanya mengandalkan tenaga, jika hal itu tetap dipaksakan maka lama kelamaan yang bersangkutan akan menjadi malas ataupun tetap bekerja karena terpaksa.
Seorang pimpinan organisasi yang memahami kondisi organisasi dan bawahannya akan menganggap hal tersebut sebagai aset yang sangat potensial yang perlu dikembangkan dan diberdayakan dalam memajukan Visidan Misi organisasinya.
14. Pemberian Reward dan Konsistensi Penjatuhan Punishment Yang Masih Kurang.
Dalam suatu kesempatan diskusi dikalangan aparatur, pernah terlontarkan pertanyaan yang perlu menjadi bahan pemikiran bersama, “ Kenapa Budaya Kerja dapat diterapkan di Instansi Swasta ? Kenapa pelayanan yang diberikan aparatur dinilai oleh sebahagian masyarakat masih rendah dan belum dapat memuaskan masyarakat, dibandingkan dengan yang diberikan oleh pihak Intsansi swasta ? Kenapa motivasi dan semangat pegawai dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparatur masih kurang ? “ dan segala macam pertanyaan kenapa….? Yang pada intinya semuanya menunjukkan rendahnya penilaian terhadap kinerja aparatur pemerintah saat ini.
Menurut beberapa kalangan pengamat Budaya Kerja, hal ini terjadi disamping belum adanya standar baku dalam penilaian kinerja individu aparatur, Pemberian Reward (penghargaan terhadap prestasi) dan Konsistensi dalam Penjatuhan Punishment (sanksi hukuman terhadap pelanggaran) pun yang masih sangat kurang. Aparatur yang punya prestasi belum dihargai, sering terjadi kesenjangan dalam pengembangan karir aparatur, promosi dan pengembangan masih berorientasi kepada personal bukan berdasarkan kinerja. Begitu juga halnya dalam pemberian Punishment, terlalu banyak toleransi, faktor dan pertimbangan – pertimbangan lain yang digunakan di luar aturan baku yang telah ditetapkan.
15. Keadilan dan Keterbukaan tidak sepenuhnya dijalankan.
Idealnya seorang Aparatur haruslah dapat memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang dilayaninya sesuai dengan fungsi, tanggung jawab dan kewenangan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai aparatur, dan setiap tugas yang dilaksanakan tidak dikerjakan secara sembunyi-sembunyi, adanya keterbukaan, dan tetap mengacu kepada standar baku yang elah ditetapkan, baik itu mengenai prosedur, persyaratan, waktu maupun biaya yang diperlukan dalam penyelesaian urusan.
Keadaan yang terjadi dewasa ini adalah masih banyaknya aparatur yang belum memahami makna keadilan dan keterbukaan itu sendiri, sehingga dalam penerapannya sering terjadi kesenjangan dan perlakuan yang diskriminatif disebabkan karena adanya faktor-faktor kepentingan pribadi dan golongan, kepentingan material lebih diutamakan karena masih rendahnya pendapatan aparatur itu sendiri. Kondisi seperti ini makin berkembang dengan belum adanya rekruitmen dan pengembangan karir aparatur yang belum mengacu kepada Meryt System serta penilaian kinerja individu yang belum jelas.
16. Penguasaan Ilmu dan Teknologi Yang Masih Rendah.
Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan suatu persyaratan yang sangat mutlak dalam penerapan Budaya Kerja. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat dialihkan (ditransformasikan) menjadi nilai nilai- yang dapat diterapkan dalam manajemen pemerintahan sehingga akan diperoleh hasil yang optimal, efektif dan efisien. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi akan dapat dikembangkan dalam mencari cara / motode-metode baru yang lebih cepat dalam penyelesaian pekerjaan, sehingga efektifitas dan efisiensi kinerja akan dapat diwujudkan.
Dikalangan aparatur sendiri, penguasaan IPTEK ini dirasakan masih sangat kurang sekali. Seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini masih belum berorientasi kepada perkembangan dan kemajuan, masih banyak diantara kita yang masih berfikiran sempit dalam menanggapi kemajuan IPTEK tersebut, tanpa memperhatikan hasil yang akan diperoleh dengan pengembangan IPTEK di lingkungan kerjanya, usulan pengembangan IPTEK pun masih dipandang sebelah mata, masih adanya anggapan kalau bisa dikerjakan secara manual kenapa mesti mengunakan kecanggihan teknologi. Keadaan yang terjadi seperti inilah yang menyebabkan birokrasi pemerintahan selalu tertinggal jauh dari swasta yang selalu mengikuti, mengadopsi serta menerapkan teknologi dalam pencapaian kinerja organisasinya.
Melihat kondisi riil di atas dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan Budaya Kerja Aparatur di Birokrasi Pemerintahan ini, maka untuk dapat mewujudkan Budaya Kerja Aparatur tersebut merupakan hal yang sangat sulit pada saat ini, disamping harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan adanya komitmen bersama untuk memutuskan rantai budaya negatif birokrasi yang sudah tertanam dan mengakar di lingkungan aparatur selama ini, namun menurut beberapa rekan-rekan aparatur di lingkungan kerja penulis, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, dengan niat baik, kemauan, komitmen dan kebulatan tekad dari semua pihak untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik, serta diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan aparatur, mereka sangat yakin dan percaya Budaya Kerja Aparatur tersebut akan dapat tercapai, dan menurut mereka kunci dari semua itu adalah adanya kemauan dan dukungan dari pimpinan, kebersamaan bukan hanya slogan, namun dapat diaplikasikan dalam setiap oganisasi secara nyata, dengan moto : “ Aku ada karena orang lain. Aku berhasil karena orang lain dan Aku tidak akan berarti apa-apa tanpa orang lain”.
(poDJok-rifqieadlie : dari berbagai sumber).