Catatan Editorial :
Ketika membongkar ulang kumpulan arsip di beberapa folder yang ada di wahana Komunitas Podjok, kami menemukan beberapa tulisan menarik menyangkut “Indonesia” sebagai sebuah entitas kebangsaan. Menurut kami, tulisan-tulisan ini (meski tlah lama ditulis) hingga saat ini masih menemukan konteksnya, apalagi jika dikaitkan dengan momentum se-abad kebangkitan nasional. Tulisan-tulisan tersebut akan kami turunkan secara berangkai di Blog ini.
Atas nama “pembelajaran” dan “pencerahan”, sebelumnya Komunitas Podjok mohon maaf dan mohon izin kepada penulis asli dari tulisan-tulisan ini, karena tulisan ini kami posting tanpa menuliskan nama penulis. Hal ini bukan disengaja, karena tulisan-tulisan ini kami temukan dan kumpulkan dari lembar catatan yang terbuang. Dalam bentuk apapun, kami sangat tidak respect terhadap perilaku “Plagiat” dengan segala bentuknya. Untuk itu, jika tulisan ini terbaca oleh “penulis” asli, kami mohon konfirmasikan ke email kami di komunitaspodjok@gmail.com.
-----------------------------------------------------------------------------------
SENJAKALA INDONESIA
(Sebuah Renungan Menuju Indonesia yang Tercerahkan)
Sebuah refleksi atas perjalanan bangsa yang tercabik-cabik, dan kini tengah membangun langkah menuju perbaikan, tapi ibarat seorang balita yang tengah belajar berdiri terjatuh dan terjatuh menjadi rutinitas. Namun, apakah kita akan terus terjatuh ?
“…meski prihatin, tetapi tidak tanpa harapan. Kita ingin merefleksi,
dimana kita selaku kolektivitas bangsa tersesat ? dan dimana
sebenarnya akar-akar keberadaan Republik Indonesia, serta
esensi motivasi dan watak perjuangan aslinya.
Demi suatu pemikiran ke arah mana rupa-rupanya perbaikan
pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara kita”
(Y.B. Mangunwijaya dalam kata pengantar buku Menuju Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan Indonesia sebagai sebuah kolektivitas mendapat ujian bertubi-tubi, ketika social bond (kerekatan sosial) bangsa ini secara perlahan mulai mendekati titik nadir, saat kita mulai kelalen (baca : terlupa) menterjemahkan demokrasi dengan anarkhi, saat perbedaan diisyaratkan dengan permusuhan, dan ketika kawula tak lagi percaya gusti-nya.
Tiga kondisi di atas bergelombang menghantam benteng kolektivitas bangsa kita, yang telah dibangun di atas darah dan airmata oleh pejuang-pejuang sejati bangsa ini yang hidup di zamannya. Bisa jadi terkesan terlalu historic-romantic. Baiklah mari kita mencoba menarik semua itu dalam realitas kekinian. Dimana Indonesia tengah tertatih-tatih mempertahankan kolektivitas di tengah badai konflik.
Konsepsi unity in diversity yang ditawarkan oleh rezim penguasa Indonesia telah dengan salah menafsirkan persatuan dengan metode dipaksakan, bukan sebuah persatuan yang dibangun di atas kesadaran. Orde lama dengan jargon revolusi telah dengan semena-mena meniadakan perbedaan, hingga rakyat dipaksa untuk seragam dan menafikkan perbedaan. Orde baru memaksakan persatuan dengan metode coercive, rakyat diarahkan untuk melihat perbedaan bukan sebagai sebuah ornamen keindahan tapi justru sebagai sebuah potensi konflik. Hingga ketika proses transisi politik terjadi di Indonesia, kebebasan berekspresi mendapat ruang, dalam kondisi masyarakat yang berubah itulah, warna-warni Indonesia lebih kasat mata. Namun, ternyata paham yang diajarkan dua rezim penguasa sebelumnya membuat rakyat kita tidak terlalu siap untuk berbeda. Maka, ketika itupula muncul gesekan-gesekan yang memunculkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Semua ini makin menjadi ketika elite politik tidak dengan bijaksana melihat gesekan-gesekan itu, dalam masyarakat yang relatif masih feodal, maka budaya patronage tetap melekat, elite kita justru menggunakan itu sebagai perisai politik.
Chris Hann dan Elizabet Dunn (1996) seperti dikutip Astrid S. Susanto (1999) menyebut perlu dikoreksi paham yang memisahkan secara mutlak antara kehidupan politik dan kehidupan sosial. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya tengah melakukan proses transisi dari tradisional ke modern, perhimpitan antara politik dan kehidupan sosial budaya begitu besar. Untuk itu, dalam mengkaji kerekatan sosial bangsa ini tak bisa lepas dari realitas politik nasional. Sebagai pembuktian, paling tidak analisis antropologis yang dilakukan Geertz yang memetakan masyarakat Jawa dalam tiga kelompok besar, santri, abangan dan priyayi bisa kita cross check dengan hasil pengelompokan politik yang dilakukan Herbert Feith dan Lance Casstle dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 yang memetakan empat kekuatan politik di Indonesia, Nasionalisme-Radikal, Islam, Sosialis dan tradisionalisme Jawa. Dari dua kajian tersebut kita dapat melihat persinggungan antara kehidupan politik dan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Dari sketsa di atas perlu rasanya kita mengeksplorasi lebih dalam, telah sampai sejauhmana kesalahan kita menafsirkan pluralitas dan hal apa saja yang perlu kita siapkan guna membangun kesadaran kolektif menuju ikatan rasional-fungsional dalam pluralitas. Juga perlu digarisbawahi tiap kali berlangsung proses perubahan politik akan membawa implikasi pada tatanan sosial masyarakat. Budaya patronage akan membahayakan kerekatan sosial jika tidak di-manage dengan bijaksana.
Editor : goenipunk76
2 komentar:
Bangunlah negeri ku, ayo kita bangun bangsa dan negera ini....!!!
Pro-kontra keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), mgkn relevan dgn ptanyaan "telah sampai sejauhmana kesalahan kita menafsirkan pluralitas." Dengan dalih demokratisasi, kemajemukan seakan layak diterapkan diseluruh lini, pdhl JAI sesungguhnya adalah ALIRAN SESAT DAN MENYESATKAN. Ahmadiyah adalah suatu aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, mereka meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi mereka. Selain itu mereka mempunyai kitab suci yang dikenal dengan nama Tadzkirah sebagaimana umat Islam mempunyai Al-Qur`an. Dengan adanya polemik ini...apakah qta hrs mengorbankan PRINSIP demi sebuah pluralitas?
Posting Komentar